“Apakah peningkatan produksi komoditas pertanian saat ini dibarengi dengan peningkatan pendapatan petani sebagai pelaku usaha?” demikian yang disampaikan Kepala PSEKP dalam sambutan pembukaan Workshop Indikator Kesejahteraan Petani. Workshop diselenggarakan di PSEKP pada tanggal 25 Mei 2016 dengan menghadirkan narasumber: Deputy Bidang Neraca dan Analisis statistik - BPS, Dr. Rusman Heriawan dan Prof. Pantjar Simatupang serta dihadiri oleh perwakilan eselon I lingkup Kementan dan para peneliti PSEKP.
Disampaikan bahwa salah satu point Nawacita Kabinet Kerja adalah amanat untuk meningkatkan kedaulatan pangan. Termasuk didalamnya adalah peningkatan produksi bahan pangan, melindungi dan mensejahteraan petani dan nelayan sebagai penghasil bahan pangan. Pertanyaanya adalah apakah pembangunan sarana pendukung usaha tani, irigasi, subsidi benih, UPSUS, penyuluhan dan usaha-usaha peningkatan produksi pangan diiringi dengan peningkatan pendapatan petani? Rendahnya harga yang diterima petani dan tingginya harga input produksi serta berbagai kebijakan yang hanya berorientasi ouput menyebabkan petani masih belum sejahtera.Beberapa indikator kesejahteraan petani diantaranya adalah penerimaan riil, alokasi pengeluaran rumah tangga untuk bahan pangan, tingkat daya beli, garis kemiskinan, GINI ratio dan yang umum umum dipakai adalah Nilai Tukar Petani (NTP). NTP merupakan perbandingan indeks harga yang diterima petani (IT) vs. harga yang dibayarkan petani (IB). Pengukuran kesejahteraan petani melalui NTP ini didekati dengan pendekatan kemiskinan, dimana rumah tangga tani yang miskin dianggap tidak sejahtera. Kelemahan penggunaan NTP sebagai indicator kesejahteraan petani adalah adanya factor penerimaan rumah tangga tani dari usaha non pertanian yang ikut diperhitungkan dalam NTP.